Tari Bedhaya Ketawang Tarian Sakral Jawa Sejarah, Makna, dan Fungsi Dalam Masyarakat Jawa

Tari Bedhaya Ketawang Tarian Sakral Jawa Sejarah, Makna, dan Fungsi Dalam Masyarakat Jawa - Bedaya ketawang adalah tarian yang sangat penting bagi masyarakat Jawa dan merupakan bagian dari budaya Jawa yang kaya dan beragam. Tarian ini biasanya dipertunjukkan di acara-acara penting, seperti penobatan raja atau upacara peringatan kenaikan tahta raja. 

Tari Bedhaya Ketawang Tarian Sakral Jawa Sejarah, Makna, dan Fungsi Dalam Masyarakat Jawa

Bedaya ketawang merupakan tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan di istana dan hanya dapat ditari oleh penari-penari wanita terlatih yang disebut bedhaya. Tarian ini merupakan tarian sakral yang suci karena mengandung makna yang berkaitan dengan ketuhanan dan kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Bedaya ketawang merupakan salah satu tarian yang paling indah dan terkenal di Jawa yang merupakan simbol keluhuran dan kemuliaan.

Sejarah

Bedaya ketawang merupakan tarian yang diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja Kesultanan Mataram pada abad ke-17. Menurut legenda, Sultan Agung terinspirasi untuk menciptakan tarian ini setelah mendengar suara tetembangan (senandung) dari arah langit saat melakukan laku ritual semadi. Setelah selesai bertapa, Sultan Agung memanggil empat orang pengiringnya dan mengutarakan kesaksian batinnya tentang pengalaman gaib yang ia alami. 

Dari sini, Sultan Agung menciptakan tarian yang kemudian diberi nama Bedhaya ketawang. Tarian ini menjadi tarian sakral yang suci dan hanya dipertunjukkan di istana, dipertunjukkan hanya oleh penari-penari wanita terlatih yang disebut bedhaya. Bedaya ketawang merupakan salah satu tarian terkenal dan indah di Jawa yang merupakan simbol keluhuran dan kemuliaan.

Bedaya ketawang merupakan tarian yang memiliki makna yang lebih dalam daripada hanya sekedar hiburan. Tarian ini hanya dipertunjukkan dalam acara-acara resmi dan khusus, seperti penobatan raja atau upacara peringatan kenaikan tahta raja. Bedaya ketawang menggambarkan hubungan asmara Kangjeng Ratu Kidul, seorang dewi dari laut selatan, dengan raja-raja Mataram. 

Gerak-gerik tangan, cara memegang sondher, dan seluruh bagian tubuh yang digunakan dalam tarian ini menggambarkan curahan asmara Kangjeng Ratu Kidul kepada sang raja. Semua kata-kata yang tercantum dalam tembang (lagu) yang mengiringi tarian juga merupakan ungkapan cinta dan kasih sayang Kangjeng Ratu Kidul kepada sang raja. Bedaya ketawang merupakan tarian yang indah dan memiliki makna yang dalam bagi masyarakat Jawa.

Bedaya ketawang merupakan tarian yang memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat Jawa dan dianggap sebagai tarian sakral yang suci. Menurut kepercayaan masyarakat, setiap kali tarian ini dipertunjukkan, Kangjeng Ratu Kidul akan hadir dan ikut menari sebagai penari kesepuluh. Tarian ini dibawakan oleh sembilan penari yang menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan dewa yang disebut Nawasanga.

Untuk dapat menari Bedaya ketawang, penarinya harus memenuhi beberapa syarat. Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid, penari tetap diperbolehkan menari dengan syarat harus meminta izin kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya caos dhahar di Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta. 

Selain itu, penarinya juga harus suci secara batiniah dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran. Kesucian para penari dianggap sangat penting karena konon kabarnya Kanjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah saat latihan.

Penari

Sembilan penari Bedhaya ketawang memiliki nama dan fungsi masing-masing. Tiap penari tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya. 

Penari pertama disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa. 
Penari kedua disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau nafsu. 
Penari ketiga disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan. 
Penari keempat disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan. 
Penari kelima disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri. 
Penari keenam disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri. 
Penari ketujuh disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan. 
Penari kedelapan disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan. 
Penari kesembilan disebut Buncit yang disimbolkan sebagai organ seksual. 

Penari kesembilan di sini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang yang merupakan simbol tawang atau langit. 

Setiap penari memiliki peran dan fungsi yang unik dalam tarian Bedhaya ketawang yang merupakan tarian yang sangat indah dan memiliki makna yang dalam bagi masyarakat Jawa.

Busana

Busana yang digunakan oleh para penari Bedhaya ketawang sangat mirip dengan busana pengantin Jawa dan didominasi dengan warna hijau. Penari menggunakan dodot ageng atau basahan, yaitu busana yang biasanya digunakan oleh pengantin perempuan Jawa. 

Penari juga menggunakan gelung bokor mengkurep, yaitu gelungan yang berukuran lebih besar daripada gelungan gaya Yogyakarta. Selain itu, penari juga menggunakan berbagai aksesoris perhiasan, seperti centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul dan tiba dhadha (rangkaian bunga melati yang dikenakan di gelungan yang memanjang hingga dada bagian kanan).

Busana penari Bedhaya ketawang merupakan bagian yang sangat penting dari tarian ini dan memiliki makna yang dalam. Busana tersebut sangat mirip dengan busana pengantin Jawa dan didominasi dengan warna hijau, yang menunjukkan bahwa Bedhaya ketawang merupakan tarian yang menggambarkan kisah asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram. Selain itu, aksesoris perhiasan yang dikenakan oleh penari juga merupakan bagian penting dari tarian ini dan memiliki makna yang dalam bagi masyarakat Jawa.

Bedaya ketawang merupakan tarian yang indah dan memiliki makna yang dalam bagi masyarakat Jawa. Pada awalnya, tarian ini dipertunjukkan selama dua setengah jam, tetapi sejak zaman Pakubuwana X diadakan pengurangan hingga menjadi berdurasi satu setengah jam. 

Gending atau musik yang dipakai untuk mengiringi tarian ini disebut Gending ketawang Gedhe yang bernada pelog. Perangkat gamelan yang digunakan untuk membawakan gending ini terdiri dari lima jenis, yaitu kethuk, kenong, kendhang, gong, dan kemanak, yang sangat mendominasi keseluruhan irama gending.

Gending ketawang Gedhe merupakan bagian penting dari tarian Bedaya ketawang karena musik yang indah dan penuh makna ini menjadi pengiring yang sempurna untuk tarian yang sangat indah ini. Perangkat gamelan yang digunakan untuk membawakan gending ini juga memiliki peran yang penting dalam membuat suasana yang indah dan menyenangkan bagi para penari dan penonton.

Bedhaya ketawang dibagi menjadi tiga adegan atau babak. Di tengah-tengah tarian, laras (nada) gending berganti menjadi nada slendro selama dua kali, kemudian nada gending kembali lagi ke laras pelog hingga tarian berakhir. Pada bagian pertama tarian diiringi dengan tembang Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari masuk kembali ke Dalem Ageng Prabasuyasa, alat gamelan yang dimainkan ditambah dengan rebab, gender, gambang dan suling. Ini semua dilakukan untuk menambah keselarasan suasana.

Setiap babak dari tarian Bedhaya ketawang memiliki makna yang unik dan menyampaikan pesan yang dalam bagi masyarakat Jawa. Tembang yang diiringi oleh gending ketawang Gedhe.


Pola lantai

Pola lantai tari Bedhaya ketawang merupakan bagian penting dari tarian tersebut, karena pola lantai yang digunakan menyampaikan makna yang dalam bagi masyarakat Jawa. Pola lantai yang digunakan dalam tari Bedhaya ketawang meliputi pola lantai gawang monitor mabur, gawang jejer wayang, gawang urut kacang, gawang kalajengking, gawang perang, dan gawang tiga-tiga. Pola lantai tarian ini juga dikenal dengan nama rakit lajur yang menggambarkan lima unsur dalam diri manusia, yaitu cahaya, rasa, sukma, nafsu, dan perilaku.

Setiap penari Bedhaya ketawang harus memenuhi beberapa syarat, salah satunya adalah merupakan seorang gadis suci dan tidak sedang haid atau menstruasi. Jika sedang menstruasi, penari tersebut harus meminta izin terlebih dahulu kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan melakukan caos dahar di panggung Sangga Buwana di Keraton Surakarta. Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pertunjukan. Selain itu, Kanjeng Ratu Kidul akan datang jika ada penari yang gerakannya masih kurang benar saat latihan dimulai.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel